Person-Centered Therapy (Carl Rogers)
Carl Rogers paling dikenal
sebagai pencetus terapi yang berpusat pada pribadi (person-centered therapy)
Tidak seperti Freud yang pada dasarnya merupakan seorang pakar teori dan
menjadikan terapis sebagai kegiatan sekunder, Rogers merupakan terapis yang sempurna,
namun tidak terlalu menyukai teori. Rogers lebih tertarik untuk membantu orang
lain daripada mencari tahu mengapa mereka melakukan suatu perilaku. Ia akan
lebih bertanya mengenai "bagaimana saya dapat membantu orang ini untuk
tumbuh dan berekembang?" daripada memikirkan tentang pertanyaan "apa
yang menyebabkan orang ini berkembang seperti dengan cara seperti ini?".
Seperti kebanyakan pakar teori
kepribadian, Rogers membangun teorinya berdasarkan landasan yang diperolehnya
sebagai terapis. Tidak seperti sebagian besar pakar teori lainnya, Rogers
secara berkesinambungan melakukan penelitian empiris untuk mendukung teori
perkembangannya maupun pendekatan terapinya. Mungkin lebih dari para pakar
teori terapis lainnya, Rogers menunjukkan keseimbangan antara pemikiran yang
tidak kaku dan studi yang rasional yang dapat memperluas pengetahuan tentang
bagaimana manusia merasa dan berpikir.
Selama tahun 1950-an yang
merupakan titik tengah karirnya, Rogers diminta untuk menulis tentang apa yang
kelak akan disebut dengan teori kepribadian "yang berpusat pada
pribadi".
Pada tahun-tahun awal sekitar
tahun 1940-an, pendekatan yang dilakukan Rogers dikenal sebagai nondirective,
istilah tidak menyenangkan yang diasosiasikan dengan namanya dalam waktu yang
cukup lama. Kemudian, pendekatan tersebut memakai beragam istilah, antara lain
pendekatan yang berpusat pada klien (client-centered), yang berpusat pada
pribadi (person-centered), yang berpusat pada siswa (student-centered), yang
berpusat pada kelompok (group-centered), dan person-to-person. Namun, yang
digunakan adalah penamaan yang berpusat pada klien untuk merujuk terapi Rogers
dan istilah yang lebih luas, yaitu person-centered untuk merujuk pada teori
kepribadian Rogers.
Konsep Dasar Person-Centered Therapy
Pendekatan person-centered therapy menekankan
pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan
pemecahan masalah dirinya. Terapi ini berfokus pada bagaimana membantu dan
mengarahkan klien pada pengaktualisasian diri untuk dapat mengatasi
permasalahannya dan mencapai kebahagiaan. Konsep dasar dari terapi ini adalah
hal-hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self) dan aktualisasi
diri.
Menurut Rogers (1959), bayi mulai
mengembangkan konsep diri yang samar saat sebagian pengalaman mereka telah
dipersonalisasikan dan dibedakan dalam kesadaran pengalaman sebagai
"aku" (I) atau "diriku" (me). Kemudian, bayi secara
bertahap menjadi sadar akan identitasnya sendiri saat mereka belajar apa yang
terasa baik dan terasa buruk, apa yang terasa menyenangkan dan tidak
menyenangkan. Selanjutnya, mereka mulai untuk mengevaluasi pengalaman mereka
sebagai pengalaman positif dan negatif, menggunakan kecenderungan aktualisasi
sebagai kriteria.
Saat bayi telah membangun
struktur diri yang mendasar, kecenderungan mereka untuk aktualisasi mulai
berkembang. Aktualisasi diri merupakan bagian dari kecenderungan aktualisasi
sehingga tidak sama dengan kecenderungan itu sendiri. Secara singkat,
aktualisasi diri adalah kecenderungan untuk
mengaktualisasikan diri sebagaimana yang dirasakan dalam kesadaran.
Rogers mengajukan dua subsistem, yaitu konsep diri (self-concept) dan diri
ideal (ideal-self).
Konsep Diri
Konsep diri meliputi seluruh
aspek dalam keberadaan dan pengalaman seseorang yang disadari oleh individu
tersebut. Konsep diri tidak identik dengan diri organismik. Bagian-bagian diri
organismik berada di luar kesadaran seseorang atau tidak dimiliki oleh orang
tersebut.
Saat manusia sudah membentuk
konsep dirinya, ia akan menemukan kesulitan dalam menerima perubahan dan
pembelajaran yang penting. Pengalaman yang tidak konsisten dengan konsep diri
mereka biasanya disangkal atau hanya diterima dengan bentuk yang telah
didistorsi atau diubah.
Diri Ideal
Diri ideal didefinisikan sebagai
pandangan seseorang atas diri sebagaimana yang diharapkannya. Diri ideal
meliputi semua atribut, biasanya yang positif, yang ingin dimiliki oleh
seseorang. Perbedaan yang besar antara diri ideal dengan konsep diri
mengindikasikan inkongruensi dan merupakan kepribadian yang tidak sehat.
Individu yang sehat secara psikologis akan mellihat sedikit perbedaan antara
konsep dirinya dengan apa yang mereka inginkan secara ideal.
Unsur-Unsur Person-Centered Therapy
1. Munculnya Gangguan
Hambatan atas pertumbuhan
psikologis terjadi saat seseorang mengalami penghargaan bersyarat, inkongruensi, sikap defensif, dan
disorganisasi.
Penghargaan bersyarat dapat
berakibat pada kerentanan, kecemasan, dan ancaman serta menghambat manusia dari
merasakan penerimaan positif yang tidak bersyarat. Inkongruensi berkembang saat
diri orgasmik dan diri yang dirasakan tidak selaras. Saat diri organismik dan
diri yang dirasakan tidak kongruen, manusia cenedrung menjadi defensif serta
menggunakan distorsi dan penyangkalan sebagai usaha untuk mengurangi
inkongruensi. Manusia yang mengalami disorganisasi saat distorsi dan
penyangkalan tidak cukup untuk menahan inkongruensi. Orang-orang yang cenderung
tidak menyadari inkongruensi mereka, memungkinkan untuk merasa lebih cemas,
terancam, dan defensif.
2. Tujuan Terapi
Rogers (1980) memberikan
penjelasan sesuai dengan logika bahwa ketika seseorang merasakan sendiri bahwa
mereka dihargai dan diterima tanpa syarat, mereka menyadari bahwa mungkin untuk
pertama kalinya mereka dapat dicintai. Sehingga tujuan dari person-centered
therapy adalah untuk membuat klien/pribadi seseorang dapat menghargai dan
menerima diri mereka sendiri dan untuk mempunyai penerimaan positif yang tidak
bersyarat terhadap diri mereka.
3. Peran Terapis
Dalam pandangan Rogers, konselor
lebih banyak berperan sebagai partner klien dalam memecahkan masalahnya. Dalam
hubungan konseling, konselor ini lebih banyak memberikan kesempatan kepada
klien untuk mengungkapkan segala permasalahan, perasaan dan persepsinya, dan
konselor merefleksikan segala yang diungkapkan oleh klien.
Agar peran ini dapat
dipertahankan dan tujuan dapat dicapai, maka konselor perlu menciptakan iklim
atau kondisi yang mampu menumbuhkan hubungan konseling.
Selain peranan diatas, peranan utama konselor adalah
menyiapkan suasana agar potensi dan kemampuan yang pada dasarnya ada pada diri
klien itu berkembang secara optimal, dengan cara menciptakan hubungan konseling
yang hangat. Dalam suasana yang demikian, konselor merupakan agen pembangunan
yang mendorong terjadinya perubahan pada diri klien tanpa konselor sendiri
banyak masuk dan terlibat langsung dalam proses perubahan tersebut.
TEKNIK-TEKNIK PERSON-CENTERED
THERAPY
Terapi ini tidak memiliki metode
atau teknik yang spesifik, sikap-sikap terapis dan kepercayaan antara terapis
dan klienlah yang berperan penting dalam proses terapi. Terapis membangun
hubungan yang membantu, dimana klien akan mengalami kebebasan untuk
mengeksplorasi area-area kehidupannya yang sekarang diingkari atau
didistorsinya. Terapis memandang klien sebagai narator aktif yang membangun
terapi secara interaktif dan sinergis untuk perubahan yang positif. Dalam
terapi ini pada umumnya menggunakan teknik dasar mencakup mendengarkan aktif,
merefleksikan perasaan-perasaan atau pengalaman, menjelaskan, dan “hadir” bagi
klien, namun tidak memasukkan pengetesan diagnostik, penafsiran, kasus sejarah,
dan bertanya atau menggali informasi. Untuk terapis person centered, kualitas
hubungan terapi jauh lebih penting daripada teknis. Terapis harus membawa ke
dalam hubungan tersebut sifat-sifat khas yang berikut;
- Menerima. Terapis menerima pasien dengan respek tanpa menilai atau mengadilinya entah secara positif atau negatif. Pasien dihargai dan diterima tanpa syarat. Dengan sikap ini terapis memberi kepercayaan sepenuhnya kepada kemampuan pasien untuk meningkatkan pemahaman dirinya dan perubahan yang positif.
- Keselarasan (congruence). Terapis dikatakan selaras dalam pengertian bahwa tidak ada kontradiksi antara apa yang dilakukannya dan apa yang dikatakannya.
- Pemahaman. Terapis mampu melihat pasien dalam cara empatik yang akurat. Dia memiliki pemahaman konotatif dan juga kognitif.
- Mampu mengkomunikasikan sifat-sifat khas ini. Terapis mampu mengkomunikasikan penerimaan, keselarasan dan pemahaman kepada pasien sedemikian rupa sehingga membuat perasaan-perasaan terapis jelas bagi pasien.
- Hubungan yang membawa akibat. Suatu hubungan yang bersifat mendukung (supportive relationship), yang aman dan bebas dari ancaman akan muncul dari teknik-teknik diatas.
Referensi:
- Feist, J & Feist, G. J.(2013).Teori Kepribadian.Jakarta: Salemba Humanika
- Latipun.(2008).Psikologi Konseling.Malang: UMM Press
- Prayitno & Amti. E.(2004).Dasar-Dasar Bimbingan Dan Konseling.Jakarta: Rineka Cipta
- Abidin, Zanial, 2002. Analisis Eksistensial Untuk Psikologi dan Psikiatri. Bandung: PT Refika Aditama.
- Corey, Gerald. 2009. Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama.
- Gunarsa, Singgih D. 1996. Konseling Dan Psikoterapi. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
- Palmer, Stephen. 2010. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar