- See more at: http://blog.ahmadrifai.net/2012/03/cara-membuat-efek-salju-di-blog.html#sthash.0VRt8tb2.dpuf

Kamis, 30 Juni 2016

TUGAS SOFTSKILL PSIKOTERAPI (TERAPI KELOMPOK)

TERAPI KELOMPOK


SEJARAH TERAPI KELOMPOK
A.   EVOLUSI METODE KELOMPOK
  • Pada awal 1900, Joseph Pratt melakukan kunjungan ke rumah-rumah dan mengadakan pertemuan antar penderita TBC
  • Tahun 1910, Jacob Moreno yang merupakan seorang psikiater dari Rusia menggunakan teknik teater (seperti role playing) untuk membantu mengembangkan interaksi dan spontanitas pasien dengan membawa masalahnya pada setting kelompok
  • Tahun 1925, Moreno pindah ke USA dan memperkenalkan teknik "psikodrama"
  • Tahun 1930, Moreno menggunakan istilah "terapi kelompok"
  • Tahun 1931, Institut Tavistock di London (dengan dasar teori analisis Melanie Klein) mengembangkan proses kelompok dalam membantu pasien memecahkan masalah
  • Tahun 1931, Samuel Slavson yang merupakan seorang engineer melakukan terapi aktivitas kelompok dan mendorong anggotanya dalam berinteraksi menyelesaikan konflik, impuls, dan pola perilaku
  • Tahun 1943, Slavson menggorganisasikan Asosiasi Terapi Kelompok Amerika
  • Tahun 1964, Slavson menerapkan teknik terapi kelompok dengan pendidikan progresif dan psikoanalisis untuk membantu anak-anak dan remaja yang mengalami gangguan


B.   PERKEMBANGAN TERAPI KELOMPOK PASCA PERANG
Pada tahun 1960, Kurt Lewin membentuk T-Group (Basic Skill Training Group) dengan tujuan awal untuk melatih pimpinan komunitas untuk memfasilitasi pemahaman dan kepatuhan dengan mengadopsi Fair Employment Practice Act. Berdasarkan formulasi T-Group, Leland Bradford, Kenneth Benne, dan Roland Lippit mendirikan National Training Laboratories (NTL) pada tahun 1950.

Kemudian, ada perubahan tujuan T-Group, yaitu:
1. Menciptakan kesadaran diri melalui pemahaman tentang perilaku interpersonalnya
2. Merupakan 'terapi normal' yang menekankan pada usaha memperbaiki keterampilan sosial manusia.

Pada tahun 1960, muncul Encounter Group yang merupakan hasil merger konsep serta prosedur dari terapi kelompok tradisional dan T-Group, dengan tujuan untuk mendorong perkembangan individu dan ekspresi diri serta pertumbuhan individu dan 'sensitivity training'.

Teknik yang diterapkan adalah:
1. Menekankan pada here dan now
2. Konsep feedback dalam komunikasi interpersonal
3. Meningkatkan keterbukaan diri oleh pimpinan kelompok
4. Teknik verbal dan nonverbal

5. Pertemuan dengan waktu yang terbatas


JENIS-JENIS TERAPI KELOMPOK


A.   TERAPI KELOMPOK PSIKOANALISA
  • Konsep psikoanalisa dijadikan terapi kelompok oleh Wolf (1975) dan Slavson (1964)
  • Terdapat 4-5 pria dan 4-5 wanita dalam satu kelompok
  • Pertemuan berlangsung selama 90 menit dan tiga kali per minggu
  • Menurut Slavson, terapi kelompok berguna untuk membantu klien memperoleh insight, meningkatkan kesadaran emosional terhadap trauma yang terjadi pada masa kecil

B.   PSIKODRAMA/ROLE PLAY
  • Dibuat oleh Jacob Moreno (1920)
  • Bertujuan untuk memberikan kesempatan pada klien untuk katarsis, berperilaku spontan, dan saling memahami antar-anggota
  • Ada tahap dimana klien memperagakan peristiwa hidupnya yang siginifikan dihadapan anggota lainnya
  • Ada juga tahap dimana anggota berperan menjadi klien dan klien menjadi individu yang berpengaruh dalam hidupnya dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran klien
  • Menurut Moreno, bermain peran lebih efektif untuk katarsis dan membebaskan klien untuk berkreasi

C.   ANALISIS TRANSAKSIONAL
  • Dikemukakan oleh Eric Berne (1950)
  • Menurut Berne, fokus pada pemahaman klien daripada pelepasan emosi, untuk memperoleh insight mengenai kesalahan transaksi yang terjadi
  • Diawali dengan kontrak ("Saya ingin berhenti merasa depresi") untuk membuat rencana terapi dan evaluasinya (mencari status ego, tipe transaksi/games, naskah hidup)

D.   TERAPI PERILAKU BERKELOMPOK
  • Beberapa orang dengan masalah perilaku yang sama dapat diterapi bersama
  • Terdapat tiga jenis terapi perilaku berkelompok: 1) Systematic Desentizitation (terdiri dari klien-klien dengan phobia yang sama, bersama-sama belajar relaksasi). 2) Assertion Training Groups (anggota bermain peran melakukan perilaku asertif terhadap anggota lain, lalu yang lan memberi komentar). 3) Kontrol yang ditujukan terhadap perilaku tertentu (seperti makan berlebihan)

E.   T-GROUPS/SENSITIVITY TRAINING GROUP
  • Ditujukan untuk individu normal
  • Kelompok terdiri dari 10-15 individu
  • Bertujuan untuk meningkatkan kesadaran diri; meningkatkan kepekaan perasaan, pikiran, dan tujuan terhadap orang lain; melatih kejujuran dan jadi diri sendiri; belajar memberi dan menerima umpan balik; menyelesaikan konflik interpersonal
  • Hanya ada trainer yang membantu menentukan tujuan dan arah kelompok serta membantu anggota belajar dari pengalaman

F.   ENCOUNTER GROUPS
  • Untuk mengatasi keterasingan terhadap lingkungan
  • Pandangan: perasaan bahagia, merasa diri 'penuh', bertanggung jawab, punya hubungan dekat dengan orang lain, lebih jadi diri sendiri, dapat mencapai dan berbagi dengan orang lain adalah esensi sebagai manusia
  • EG memfasilitasi individu untuk menjadi spontan dan merasakan keintiman bersama
  • Terapis tidak ikut campur dalam proses terapi. Pada awalnya anggota akan kebingungan, tapi lama kelamaan akan terjadi interaksi sehingga spontanitas dan keintiman dapat tercapai

Contoh: Marriage Encounter


KARAKTERISTIK TERAPI KELOMPOK
  • Pada umumnya terdiri dari 5-10 orang yang bertemu dengan terapis
  • Panjang sesi adalah 90-120 menit
  • Setting ruangan melingkar agar terapis dan anggota dapat saling melihat
  • Anggota kelompok heterogen (pekerjaan, tingkat pendidikan, rentang usia, dll)
  • Jenis gangguan terkadang sama atau berbeda (sesuai kebutuhan)


KELEBIHAN TERAPI KELOMPOK
  • Mengarah pada kenyataan, maksudnya individu dilihat secara pribadi dan dalam interaksinya dengan lingkungan sehingga anggota menjadi lebih peka terhadap lingkungan
  • Anggota dapat melihat adanya masalah yang serupa di sekitar dirinya, sehingga memunculkan pemikiran "You are not alone"
  • Adanya penerimaan dan dukungan kelompok yang pada awalnya diperlukan perasaan "kami"
  • Anggota dapat melihat dan meniru anggota lain yang sukses dalam mengatasi masalah
  • Ada kesempatan untuk memperoleh umpan balik dari kelompok
  • Ada kesempatan untuk saling membantu antar-anggota, bukan hanya dari terapis
  • Dengan adanya berbagai macam pribadi, kepekaan pikiran dan perasaan makin terasah
  • Pengalaman sebagai satu 'keluarga' dapat memperbaiki perilaku
  • Kesuksesan anggota menjadi harapan bagi anggota lain untuk mencapai perubahan



Referensi:

Yalom, I.D.(1975).The Theory and Practice of Group Psychotherapy. New York: Basic Books

TUGAS SOFTSKILL PSIKOTERAPI (TERAPI KELUARGA)

TERAPI KELUARGA



1.   PENGANTAR
Gerakan terapi keluarga tumbuh dari pekerjaan sosial dan psikiatri. Prekursor untuk terapi keluarga termasuk Moreno kelompok psikodrama dan dalam tulisan-tulisan fluential dari tahun 1940-an oleh penulis seperti Ackerman (1938), Richardson (1945), Bowlby (1949), dan Dreikers (1949) menggambarkan gabungan dari wawancara keluarga. Pendekatan terapi keluarga, seperti pendekatan Conjoint Satir (1964), mendapatkan penerimaan luas di tahun 1960-an. Dalam profesi konseling, telah terjadi minat dalam konseling keluarga, bukan hanya sebagai suatu teknik tetapi sebagai pendekatan teoritis untuk konseling. American Psychological Association telah membentuk Divisi 43, Psikologi Keluarga. Jumlah anggota American Association of Marriage dan Terapi Keluarga dua kali lipat antara tahun 1978 dan 1986 (Maynard & Olson, 1987).
Dalam membahas pengobatan masalah keluarga, dua istilah yang digunakan dalam bab ini: terapi keluarga dan sistem terapi keluarga. Terapi keluarga adalah pengobatan psikoterapi keluarga untuk membawa fungsi psikologis yang lebih baik. Terapi sistem keluarga adalah jenis terapi keluarga yang berkonsentrasi pada interaksi anggota keluarga dan memandang seluruh keluarga sebagai unit atau sistem. Pengobatan yang dirancang untuk memahami dan membawa perubahan dalam struktur keluarga.
Dari sekian banyak pendekatan terapi sistem keluarga yang berbeda, bab ini berfokus pada dua: antargenerasi dan struktural. Pendekatan antargenerasi dari Murray Bowen mengkaji dampak dari interaksi orang tua dengan keluarga asalnya sendiri karena mempengaruhi interaksi orangtua dengan anak-anaknya. Pendekatan struktural dari Salvador Minuchin adalah berkaitan dengan bagaimana anggota keluarga berhubungan satu sama lain dalam satu jam terapi di rumah. Menekankan perlunya untuk membawa perubahan dalam keluarga.

Karena banyak terapis keluarga menggunakan lebih dari satu pendekatan, cara mengintegrasikan keluarga juga dijelaskan. Karena terapi sistem keluarga mengatasi dinamika keluarga dan bukan kepribadian individual, bab ini berbeda dari teori kepribadian dan psikoterapi yang lain, berisi bagian terpisah yang menjelaskan pendekatan sistem keluarga dan aplikasi teknik untuk masing-masing teori : antargenerasi dan struktural. Masing-masing teori tersebut menggambarkan bagaimana teori tersebut memahami keluarga, bertujuan untuk pengobatan dan pendekatannya menggunakan pengobatan.

2.   LATAR BELAKANG SEJARAH
Praktek saat terapi keluarga berakar pada berbagai teori, praktek, dan penelitian pendekatan untuk membantu anak-anak, pasangan yang sudah menikah, dan individu dengan masalah keluarga. Dalam memahami terapi keluarga seperti sekarang, akan sangat membantu untuk belajar tentang kontribusi klinik bimbingan anak dan konseling perkawinan dalam membantu keluarga mengatasi masalah. Dari perspektif teoretis dan mendalam, Freud dan psikoanalis lainnya berkontribusi pada pemahaman keluarga melalui penekanan mereka pada dampak peristiwa anak usia dini pada usia dewasa dan melalui psikoterapi pada anak-anak. Selain itu untuk terapi keluarga berasal dari ilmu-ilmu sosial luar: teori sistem umum. Mengkaji interaksi dan proses bagian dari keseluruhan di bidang-bidang seperti teknik, biologi, ekonomi, politik, sosiologi, psikologi, dan psikoterapi. Sebuah keakraban dengan pendekatan terapan dan teoritis beragam sangat membantu dalam memahami pengembangan pendekatan teoritis untuk terapi keluarga.

3.   PSIKOANALITIK DAN PENGARUH TERKAIT TERAPI KELUARGA
Meskipun berfokus pada pekerjaan dengan individu, beberapa ahli teori awal berkontribusi pada pengembangan pengobatan terapi keluarga. Dalam karya individual, Sigmund Freud memperlakukan baik anak-anak dan remaja dan dihadiri untuk proses yang terkait dengan perkembangan anak usia dini di semua pasiennya. Kontributor lain untuk terapi keluarga awal adalah Alfred Adler, yang mengamati perkembangan kepentingan sosial dalam keluarga dan memulai klinik bimbingan anak di Wina. Harry Stack Sullivan (1953) prihatin dengan tidak hanya faktor intrapsikis tetapi juga hubungan interpersonal dalam keluarga dan dengan orang lain. Beberapa pengamatannya memiliki pengaruh langsung pada terapis keluarga nanti. Orang yang menganggap inisiator dari terapi keluarga dan menganggap keluarga sebagai unit adalah Nathan Ackerman. Seorang psikiater anak yang dilatih dalam psikoanalisis, Ackerman awalnya menggunakan model tradisional di mana psikiater melihat seorang anak dan ibu-ibu pekerja sosial. Pada pertengahan 1940-an, bagaimanapun, Ackerman mulai melihat seluruh keluarga untuk kedua diagnosis dan pengobatan. Ackerman menyadari masalah sadar dan bawah sadar dalam diri individu dan keluarga, serta isu-isu yang mempengaruhi keluarga secara keseluruhan. Akibatnya, Ackerman sering hadir untuk isyarat nonverbal seperti ekspresi wajah, postur, dan pengaturan tempat duduk sebagai cara untuk menilai masalah keluarga. Dalam pendekatan terapinya, Ackerman terbuka, jujur, dan langsung, mendorong keluarga untuk berbagi pikiran mereka sendiri dan merasa seperti yang dilakukannya. Dalam karyanya dengan keluarga, Ackerman menjadi terlibat secara emosional dengan keluarga sementara pada saat yang sama mencari tema sadar (Nichols, 2008). Banyak terapis keluarga tertarik dengan gaya menarik dan pendekatan aktif untuk terapi. Namun, tulisan-tulisannya (Ackerman, 1996a, 1996b) yang ada memberikan yang jelas, pendekatan sistematis atau terapis yang ingin mengikuti metodenya.

1.   PENDEKATAN BOWEN’S ANTARGENERASI
Murray Bowen (1913-1990) karya awal dengan anak-anak dengan skizofrenia dan keluarga skizofrenia di Menninger Clinic sangat berpengaruh dalam pengembangan tentang sistem terapi keluarga (Bowen, 1960). Pendekatan teori sistem adalah berbeda dari teori terapi keluarga lainnya, menekankan sistem emosional keluarga dan sejarah sistem ini karena dapat ditelusuri melalui dinamika keluarga orang tua keluarga dan bahkan kakek-nenek keluarga. Bowen tertarik pada bagaimana keluarga diproyeksikan emosionalitas keluarganya sendiri ke anggota lainnya dalam keluarga dan reaksi anggota untuk anggota keluarga lainnya (Titelman, 2008). Lebih memilih untuk bekerja dengan orang tua daripada seluruh keluarga, Bowen (1978) melihat dirinya sebagai pelatih, membantu orang tua untuk memikirkan cara-cara orangtua dapat berperilaku berbeda satu sama lain dan anak-anak mereka untuk mngurangi emosionalitas yang bersifat destruktif dalam keluarga.

  • Tujuan Terapi

Dalam tujuan terapi, Menurut Bowen penting generasi masa lalu pada fungsi keluarga. Saat ia menetapkan tujuan untuk bekerja dengan keluarga, Bowen mendengarkan gejala yang dialami, bahkan lebih penting, untuk dinamika keluarga yang berhubungan dengan diferensiasi anggota keluarga dan triangulasi. Lebih khusus, Bowen berusaha untuk membantu keluarga mengurangi tingkat stres umum mereka dan untuk menemukan cara-cara untuk membantu anggota keluarga menjadi lebih berbeda dan memenuhi kebutuhan masing-masing serta kebutuhan keluarga (Kerr & Bowen, 1988).

  • Teknik Terapi Keluarga Bowen


Dalam sistem Bowen terapi keluarga, periode evaluasi mendahului intervensi terapeutik. Proses mengambil riwayat keluarga dibantu oleh penggunaan genogram, diagram pohon keluarga yang biasanya mencakup anak-anak, orang tua, kakek-nenek, bibi dan paman, dan mungkin kerabat lainnya. Dalam membawa perubahan keluarga, Bowen menggunakan interpretasi pemahaman tentang faktor antargenerasi. Dalam tulisannya, Bowen (1978) melihat dirinya sebagai pelatih, membantu pasiennya menganalisis situasi keluarga dan strategi rencana untuk masalah yang mungkin terjadi. Dalam karya ini, ia sering terfokus pada detriangulation, cara mengubah pola berurusan dengan stres. Keefektifan pelatih, menginterpretasi, dan detriangulasi dalam membantu menyelesaikan masalah tergantung pada keefektifannya mengevaluasi sejarah keluarga tersebut.

Berikut ini ada empat teknik terapi keluarga menurut Bowen :

  • Evaluasi wawancara

Karakteristik pekerjaan terapeutik Bowen adalah objektivitas dan netralitas. Bahkan dalam kontak telepon awal, Bowen (Kerr & Bowen, 1988) memperingatkan untuk mengambil sisi dalam keluarga atau dengan cara lain menyatu dengan sistem emosional keluarga inti. Evaluasi wawancara keluarga dapat berlangsung dengan kombinasi anggota keluarga. Kadang-kadang anggota keluarga tunggal saja cukup jika orang tersebut bersedia untuk mencoba untuk membedakan perasaannya sendiri dan proses intelektual bukan menyalahkan anggota keluarga lainnya.
Dalam mengambil riwayat keluarga, terapis menghadiri untuk hubungan dalam keluarga, seperti posisi saudara, tetapi juga hubungan dalam keluarga orang tua asal. Karena pola antargenerasi bisa kompleks, terapis dapat menggunakan genogram untuk menggambarkan hubungan keluarga.

  • Genograms

Genogram adalah metode keluarga diagram dan mencakup informasi penting tentang keluarga, seperti usia, seks, tanggal pernikahan, kematian, dan lokasi geografis. Genograms tidak hanya memberikan gambaran dari keluarga tetapi juga mungkin menyarankan pola diferensiasi yang mencapai kembali ke keluarga asal dan di luar. Sebuah genogram memberikan kesempatan untuk mencari pola emosional dalam keluarga masing-masing pasangan sendiri. Sebagai Magnuson dan Shaw (2003) menunjukkan, genograms dapat digunakan untuk pasangan dan keluarga dengan hal-hal seperti keintiman, kesedihan, dan alkoholisme, dan untuk mengidentifikasi sumber daya dalam keluarga. Diagram, serta genograms, dapat melayani tujuan tertentu dalam terapi keluarga (Butler, 2008).

  • Interpretasi

Informasi dari genograms sering diartikan untuk anggota keluarga sehingga mereka dapat memahami dinamika dalam keluarga. Dengan mempertahankan objektivitas, terapis mampu melihat pola dalam keluarga saat ini yang mencerminkan pola dalam keluarga asal. Salah satu cara yang Bowen (1978) terus cukup objektif untuk membuat interpretasi yang cerdas adalah dengan memiliki percakapan yang diarahkan kepadanya daripada dari satu anggota keluarga yang lain.

  • Detriangulasi


Bila mungkin, Bowen untuk memisahkan bagian-bagian dari segitiga langsung. Ketika berhadapan dengan masalah keluarga, ia sering melihat orang tua atau salah satu orang tua. Bowen kemudian mencoba dengan menggunakan cara-cara untuk mengembangkan strategi untuk menghadapi dampak dari stres emosional, lalu di diidentifikasi dengan anggota keluarga lainnya. Secara umum, Bowen lebih suka bekerja dengan anggota sehat dari keluarga, orang yang paling dibedakan, sehingga orang yang bisa membuat perubahan di berbagai hubungan keluarga stres.

5.      STRUKTURAL TERAPI KELUARGA
Terapi struktural, yang dikembangkan oleh Salvador Minuchin, membantu keluarga yang berurusan dengan masalah karena akan mempengaruhi interaksi anggota keluarga. Pendekatan terapi menekankan mengubah sifat dan intensitas hubungan dalam keluarga baik di dalam dan di luar sesi terapi. Terapi keluarga struktural umumnya, ditandai dengan penekanan pada isu-isu hirarkis (Madanes & Haley, 1977). Tujuan khas terapi termasuk mengoreksi disfungsional dengan menempatkan orang tua yang bertanggung jawab atas anak-anaknya dan membedakan antara subsistem dalam keluarga. Terapi biasanya melibatkan perubahan struktur keluarga dengan memodifikasi cara orang berhubungan satu sama lain. Hal ini dilakukan dengan fokus pada saat ini, dengan menggunakan arahan langsung, tidak langsung, dan paradoks. Terapi dihentikan ketika struktur keluarga positif berubah dan mampu mempertahankan diri tanpa menggunakan masalah yang pernah dihadapi (Minuchin, 1974).
  • Konsep Struktural Terapi Keluarga

Bagaimana keluarga beroperasi sebagai suatu sistem dan struktur keluarga dalam sistem yang menjadi fokus kerja Minuchin ini (Bitter, 2009; Minuchin, 1974; Minuchin, Colapinto & Minuchin, 2007). Dengan memperhatikan organisasi keluarga dan pedoman aturan anggota keluarga digunakan untuk membuat keputusan, Minuchin menggunakan konsep-konsep seperti batas, keberpihakan dan koalisi untuk menjelaskan sistem keluarga.

  • Tujuan Struktural Terapi Keluarga

Dengan membuat hipotesis tentang struktur keluarga dan sifat dari masalah, terapis keluarga struktural dapat menetapkan tujuan untuk perubahan (Aponte & Van Deusen, 1981). Bekerja di masa sekarang dengan struktur keluarga saat ini, terapis keluarga struktural mencoba untuk mengubah koalisi dan aliansi untuk membawa perubahan dalam keluarga. Terapi struktural juga bekerja untuk menetapkan batas-batas dalam keluarga yang tidak terlalu kaku atau terlalu fleksibel. Dengan mendukung subsistem orangtua karena mereka sistem pengambilan keputusan yang bertanggung jawab untuk keluarga, terapis bekerja untuk membantu penggunaan sistem keluarga agar berfungsi dengan baik. Teknik-teknik yang terapis keluarga gunakan untuk membawa perubahan ini aktif dan sangat selaras dengan fungsi keluarga.

Teknik Struktural Terapi Keluarga
  • Pemetaan keluarga

Sedangkan Bowen menggunakan genogram menunjukkan pola antargenerasi yang berkaitan, Minuchin menggunakan diagram untuk menggambarkan saat ini yang berhubungan keluarga.
  • Menampung dan bergabung

Untuk membawa perubahan dalam keluarga, Minuchin (1974) percaya bahwa penting untuk bergabung dalam sistem keluarga dan mengakomodasi jalan berinteraksi. Dengan menggunakan jenis yang sama dari bahasa dan bercerita lucu yang relevan dengan keluarga, ia berusaha untuk menyesuaikan diri.
  • Pemberlakuan

Dengan menginstruksikan keluarga untuk bertindak keluar konflik, terapis dapat bekerja dengan masalah seperti yang muncul di masa sekarang bukan seperti yang dilaporkan. Hal ini memungkinkan terapis untuk memahami koalisi keluarga dan aliansi dan kemudian membuat saran untuk mengubah sistem keluarga.
  • Intensitas

Bagaimana saran atau pesan yang diberikan sangat penting. Dengan mengulangi pesan, mengubah panjangnya waktu dalam berinteraksi, atau cara lain, perubahan dapat difasilitasi (Minuchin & Fishman, 1981).
  • Mengubah batas

Sebagai terapis penting mengamati cara berinteraksi dalam keluarga, terapis menggunakan pembuatan batas yang perlu diperhatikan batas-batas dalam keluarga. Untuk mengubah batas, terapis dapat mengatur ulang tempat duduk anggota keluarga dan mengubah jarak antara anggota keluarga tersebut. Keluarga tersebut mungkin ingin keseimbangan struktur sehingga ada perubahan dalam subsistem.
  • Reframing

Ada beberapa cara untuk melihat suatu peristiwa atau situasi atau membingkai ulang itu. Terapis mungkin ingin memberikan penjelasan yang berbeda sehingga perubahan yang konstruktif dapat terjadi dalam situasi keluarga.



DAFTAR PUSTAKA

Ph.D. Piercy, P. Fred, Ph. D. Sprenkle, H. Douglas dan Associates. 1986. Family Therapy Sourcebook. New York : The Guilford Press
Brammer, M. Lawrence, Shostrom, L. Everett dan Aberego, J. Philip. 2013. Therpeutic Psychology. New Jersey : Parentice Hall
Sharf, S. Richard. 1976. Theories Of Psychotherapy and Counseling. Untites States : PreMediaGlobal

Minggu, 03 April 2016

LOGOTERAPI

LOGOTERAPI


Prof. Viktor E. Frankl adalah seorang profesor dari Fakultas Kedokteran-Universitas Vienna dan juga cukup lama menjadi mahasiswa yang mempelajari filosofi eksistensial.Pada awal 1938 menggunakan istilah ‘Existenz-Analyse’ dalam tulisannya.Beliau memperoleh gelar doktor filosofi, dan juga gelar dokter sebagai neurologis dan psikiater. Kemudian Frankl bekerja sebagai Kepala Poliklinik Neurologik Vienna dan mendapat julukan kehormatan “The Third Viennese School of Psychotherapy”.
Frankl memperkenalkan logoterapi yang mengakui adanya dimensi spiritual dan memanfaatkannya untuk mengembangkan hidup bermakna (therapy through meaning). Dari asal katanya, logoterapi berasal dari kata ‘logos’ yang berarti ‘meaning’ (makna) dan ‘spirituality’ (kerohanian). Logoterapi digolongkan pada Existential Psychiatry dan Humanistic Psychology.
Viktor Frankl berpendapat bahwa kebutuhan manusia yang lebih mendasar adalah kebutuhan untuk hidup bermakna atau berarti.Keinginan untuk mempunyai maknai merupakan salah satu kekuatan motivasi yang ada dalam diri manusia bahkan lebih mendasar daripada ‘prinsip kesenangan’ (pleasure principle) dari Freud atau ‘keinginan untuk berkuasa’ dari Adler. Menurut Frankl, seseorang akan menjadi sakit apabila dia tidak lagi mempertanyakan keberadaannya. Hal ini terjadi karena dia tidak dapat lagi berfungsi sebagaimana mestinya atau istilah Frankl manusia itu sedang berada di dalam ‘kekosongan eksistensial’.


1. Ajaran Logoterapi
Logoterapi berpandangan bahwa ‘makna hidup’ (the meaning of life) dan ‘hasrat untuk hidup bermakna’ (the will to meaning) merupakan motif azasi manusia yang dapat dilihat dalam dimensi spiritual atau ‘noetic’. Jadi, Frankl berpendapat bahwa ada dimensi lain selain dimensi somatik dan psikis, yaitu dimensi spiritual. Tampaknya Frankl tidak memisahkan antara fisik, psikis dan spiritual seorang manusia dan menganggapnya merupakan satu kesatuan yang utuh.Konflik dasar spiritual yang muncul dari dalam diri seseorang dapat terjadi sebagai akibat ketidakmampuannya untuk muncul secara spiritual mengatasi kondisi fisik dan psikisnya.
Konflik ini tidak berakar pada kerumitan psikologis, akan tetapi terpusat pada hal spiritual dan etis. Apabila terdapat satu konflik spiritual dapat menyebabkan gangguan psikologis (neurosis) yang disebut Frankl sebagai ‘noogenic neurosis’. Terapi ini bertujuan untuk memenuhi doroangan spiritual yang dibawa oleh manusia sejak lahir dengan mengeksplorasi makna keberadaan manusia.


2. 3 landasan filsafat ajaran dalam Logoterapi
  1. The freedom of will: kebebasan tetapi terbatas, bukan kebebasan dari sesuatu tetapi kebebasan mengambil sikap terhadap sesuatu. Kebebasan yang dimaksud di sini adalah kebebasan yang bertanggungjawab.
  2. The will to meaning : merupakan motivasi dasar manusia. Yang dimaksudkan dengan keinginan untuk bermakna adalah : tertuju kepada hal-hal yang berada di luar diri manusia tersebut, bukan berpusat pada diri sendiri (self-centered).
  3. The meaning of life : dapat ditemukan oleh manusia dalam kehidupannya, termasuk pada saat mengalami penderitaan (rasa bersalah, sakit, kematian). Makna hidup setiap orang sifatnya unik, personal, spesifik, dan temporer. Makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun, jadi harus ditemukan oleh diri sendiri.

3. Logoterapi sebagai Salah Satu Metode Konseling
Dalam logoterapi pasien dibantu untuk menemukan nilai-nilai baru dan mengembangkan filosofi konstruktif dalam kehidupannya. Oleh karena itu, seorang logoterapis tidaklah mengobati gejala-gejala yang tampak pada pasien atau klien secara langsung, akan tetapi mengadakan perubahan sikap neurotik pasien terlebih dahulu. Pasien bertanggungjawab pada dirinya sendiri dan logoterapis memberikan dorongan untuk memilih, mencari dan menemukan sendiri makna konkrit dari eksistensi pribadinya. Seorang logoterapis membantu klien untuk menyusun 3 macam nilai yang akan memberi arti pada eksistensi, yaitu : creative values, experiental values, dan attitudinal values.
Dalam proses terapi, klien diperlihatkan bagaimana membuat hidup menjadi penuh arti dengan ‘the experience of love’. Pengalaman ini akan membuatnya mampu menikmati ketulusan, keindahan dan kebaikan dan mampu mengerti akan manusia dengan keunikan-keunikan pribadinya. Dengan demikian, diharapkan klien dapat melihat bahwa penderitaan mungkin sangat berguna untuk membantunya dalam mengubah sikap hidup.Sebagai contoh, situasi yang tidak dapat diperbaiki yang disebut oleh Frankl sebagai ‘takdir’ mungkin harus diterima. “Dimana kita tidak lagi dapat mengubah takdir dengan perbuatan, apapun keadaannya, sikap yang tepat untuk menghadapi takdir adalah kita harus dapat menerimanya”.


4. Tahapan Konseling Logoterapi
Ada empat tahap utama didalam proses konseling logterapi diantaranya adalah:
  1. Tahap perkenalan dan pembinaan rapport. Pada tahap ini diawali dengan menciptakan suasana nyaman untuk konsultasi dengan pembina rapport yang makin lama makin membuka peluang untuk sebuah encounter. Inti sebuah encounter adalah penghargaan kepada sesama manusia, ketulusan hati, dan pelayanan. Percakapan dalam tahap ini tak jarang memberikan efek terapi bagi konseli.
  2. Tahap pengungkapan dan penjajagan masalah. Pada tahap ini konselor mulai membuka dialog mengenai masalah yang dihadapi konseli. Berbeda dengan konseling lain yang cenderung membeiarkan konseli “sepuasnya” mengungkapkan masalahnya, dalam logoterapi konseli sejak awal diarahkan untuk menghadapi masalah itu sebagai kenyataan.
  3. Pada tahap pembahasan bersama, konselor dan konseli bersama-sama membahas dan menyamakan persepsi atas masalah yang dihadapi. Tujuannya untuk menemukan arti hidup sekalipun dalam penderitaan.
  4. Tahap evaluasi dan penyimpulan mencoba memberi interpretasi atas informasi yang diperoleh sebagai bahan untuk tahap selanjutnya, yaitu perubahan sikap dan perilaku konseli. Pada tahap-tahap ini tercakup modifikasi sikap, orientasi terhadap makna hidup, penemuan dan pemenuhan makna, dan pengurangan symptom.


Tujuan Logoterapi
Membangkitkan “kemauan untuk bermakna” dalam individu tersebut, yang bersifat khusus dan pribadi bagi masing-masing orang.Seseorang dapat bertahan dalam kondisi-kondisi yang paling tidak menguntungkan hanya bila tujuan ini terpenuhi. Namun sebelumnya, seorang konselor sebaiknya mampu mengeksplorasi dinamika proses intrapsikis dan menyelidiki hubungan interpersonal klien melalui psikoterapi tradisional dengan teknik psikoanalitik. Oleh karena itu, tampaknya Frankl, tidak sama sekali meninggalkan teori Freud dalam psikoanalitiknya, tetapi keberhasilan logoterapi sangat dipengaruhi oleh keberhasilan terapis dalam mengeksplorasi konflik intrapsikis dari klien.
Dengan logoterapi, klien yang menghadapi kesukaran menakutkan atau berada dalam kondisi yang tidak memungkinkannya beraktivitas dan berkreativitas dibantu untuk menemukan makna hidupnya dengan cara bagaimana ia menghadapi kondisi tersebut dan bagaimana ia mengatasi penderitaannya. Dengan cara ini, klien dibantu untuk menggunakan kejengkelan dan penderitaannya sehari-hari sebagai alat untuk menemukan tujuan hidupnya. Peradaban kita saat ini meyakinkan banyak orang untuk melihat penderitaan sebagai satu ‘takdir’ yang tidak dapat dicegah dan dielakkan.Akan tetapi logoterapi mengajarkan kepada klien untuk melihat nilai positif dari penderitaan dan memberikan kesempatan untuk merasa bangga terhadap penderitaannya.


5. Teknik Logoterapi
  • Persuasif
Salah satu teknik yang digunakan dalam logoterapi adalah teknik persuasif, yaitu membantu klien untuk mengambil sikap yang lebih konstruktif dalam menghadapi kesulitannya.Frankl, menggambarkan hal ini dalam satu kasus tentang seorang perawat yang menderita tumor yang tidak dapat dioperasi dan mengalami keputusasaan karena ketidakmampuannya untuk bekerja dalam profesinya yang sangat terhormat.
  • Paradoxical-intention
Paradoxical intention pada dasarnya memanfaatkan kemampuan mengambil jarak (self-detachment) dan kemampuan mengambil sikap terhadap kondisi diri sendiri dan lingkungan.Paradoxical intention terutama cocok untuk pengobatan jangka pendek pasien fobia (ketakutan irrasional). Dengan teknik ini, konselor mengupayakan agar klien yang mengalami fobia mengubah sikap dari ‘takut’ menjadi ‘akrab’ dengan objek fobianya. Selain itu, teknik paradoxical intention sangat bermanfaat untuk menolong klien dengan obsesif kompulsif (tindakan yang terus-menerus dilakukan walaupun sadar hal itu tidak rasional).Antisipasi yang menakutkan terhadap suatu kejadian sering menyebabkan reaksi-reaksi yang berkembang dari peristiwa tersebut, misalnya pasien dengan obsesi yang kuat cenderung untuk menghindari obsesif-kompulsifnya.
Dengan teknik paradoxical intention, mereka diajak untuk ‘berhenti melawan’, tetapi bahkan mencoba untuk ‘bercanda’ tentang gejala yang ada pada mereka, ternyata hasilnya adalah gejala tersebut akan berkurang dan menghilang. Klien diminta untuk berpikir atau membayangkan hal-hal yang tidak menyenangkan, menakutkan, atau memalukan baginya. Dengan cara ini klein mengembangkan kemampuan untuk melawan ketakutannya, seperti yang terdapat juga dalam terapi perilaku (behaviour therapy).
  • De-reflection
Teknik logoterapi lain adalah “de-reflection”, yaitu memanfaatkan kemampuan transendensi diri (self-transcendence) yang dimiliki setiap manusia dewasa. Setiap manusia dewasa memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dan tidak lagi memperhatikan kondisi yang tidak nyaman, tetapi mampu mengalihkan dan mencurahkan perhatiannya kepada hal-hal yang positif dan bermanfaat.Di sini klien pertama-tama dibantu untuk menyadari kemampuan atau potensinya yang tidak digunakan atau terlupakan.Ini merupakan suatu jenis daya penarik terhadap nilai-nilai pasien yang terpendam. Sekali kemampuan tersebut dapat diungkapkan dalam proses konseling maka akan muncul suatu perasaan unik, berguna dan berharga dari dalam diri klien. De-reflection tampaknya sangat bermanfaat dalam konseling bagi klien dengan  pre-okupasi somatik, gangguan tidur, dan beberapa gangguan seksual, seperti impotensi dan frigiditas.


Kelebihan Logoterapi
 Logoterapi mengajarkan bahwa setiap kehidupan individu mempunyai maksud, tujuan, makna yang harus diupayakan untuk ditemukan dan dipenuhi. Hidup kita tidak lagi kosong jika kita menemukan suatu sebab dan sesuatu yang dapat mendedikasikan eksistensi kita.


Kekurangan Logoterapi
Ada beberapa klien yang tidak dapat menunjukan makna hidupnya sehingga timbul suatu kebosanan merupakan ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan minat apatis, perasaan tanpa makna, hampa, gersang, merasa kehilangan tujuan hidup, meragukan kehidupan. Sehingga enyulitkan konselor untuk melakukan terapi kepada klien tersebut.



Sumber:
  • Hana uswatun hasanah suprapto, madiun, jawa timur. Jurnal “konseling logo terapi untuk meningkatkan kebermaknaan hidup lansia”. Volume1 (2), 190-198. Magister psikologi UMM. 2013
  • Abidin, Zainal. 2007.  Analisis eksistensial. Jakarta: Raja Grafindo Persada
  • Schultz, Duane. 1991. Psikologi pertumbuhan: model-model kepribadian sehat. Yogyakarta.
  • Gerald Corey. (2007). Teori dan Praktek Konseling. Bandung: PT Refika Aditama.
  • Bastaman, H.D. 2007. Logoterapi “Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
  • Frankl. Emil. 2004. On the theory and therapy of mental disorders: an introduction to logotherapy and existential analysis. Brunner-Routledge 270 Madison Avenue. New York.

Minggu, 27 Maret 2016

Person-Centered Therapy (Carl Rogers)

Person-Centered Therapy (Carl Rogers)

Carl Rogers paling dikenal sebagai pencetus terapi yang berpusat pada pribadi (person-centered therapy) Tidak seperti Freud yang pada dasarnya merupakan seorang pakar teori dan menjadikan terapis sebagai kegiatan sekunder, Rogers merupakan terapis yang sempurna, namun tidak terlalu menyukai teori. Rogers lebih tertarik untuk membantu orang lain daripada mencari tahu mengapa mereka melakukan suatu perilaku. Ia akan lebih bertanya mengenai "bagaimana saya dapat membantu orang ini untuk tumbuh dan berekembang?" daripada memikirkan tentang pertanyaan "apa yang menyebabkan orang ini berkembang seperti dengan cara seperti ini?".
Seperti kebanyakan pakar teori kepribadian, Rogers membangun teorinya berdasarkan landasan yang diperolehnya sebagai terapis. Tidak seperti sebagian besar pakar teori lainnya, Rogers secara berkesinambungan melakukan penelitian empiris untuk mendukung teori perkembangannya maupun pendekatan terapinya. Mungkin lebih dari para pakar teori terapis lainnya, Rogers menunjukkan keseimbangan antara pemikiran yang tidak kaku dan studi yang rasional yang dapat memperluas pengetahuan tentang bagaimana manusia merasa dan berpikir.
Selama tahun 1950-an yang merupakan titik tengah karirnya, Rogers diminta untuk menulis tentang apa yang kelak akan disebut dengan teori kepribadian "yang berpusat pada pribadi".
Pada tahun-tahun awal sekitar tahun 1940-an, pendekatan yang dilakukan Rogers dikenal sebagai nondirective, istilah tidak menyenangkan yang diasosiasikan dengan namanya dalam waktu yang cukup lama. Kemudian, pendekatan tersebut memakai beragam istilah, antara lain pendekatan yang berpusat pada klien (client-centered), yang berpusat pada pribadi (person-centered), yang berpusat pada siswa (student-centered), yang berpusat pada kelompok (group-centered), dan person-to-person. Namun, yang digunakan adalah penamaan yang berpusat pada klien untuk merujuk terapi Rogers dan istilah yang lebih luas, yaitu person-centered untuk merujuk pada teori kepribadian Rogers.


Konsep Dasar Person-Centered Therapy
 Pendekatan person-centered therapy menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Terapi ini berfokus pada bagaimana membantu dan mengarahkan klien pada pengaktualisasian diri untuk dapat mengatasi permasalahannya dan mencapai kebahagiaan. Konsep dasar dari terapi ini adalah hal-hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self) dan aktualisasi diri.
Menurut Rogers (1959), bayi mulai mengembangkan konsep diri yang samar saat sebagian pengalaman mereka telah dipersonalisasikan dan dibedakan dalam kesadaran pengalaman sebagai "aku" (I) atau "diriku" (me). Kemudian, bayi secara bertahap menjadi sadar akan identitasnya sendiri saat mereka belajar apa yang terasa baik dan terasa buruk, apa yang terasa menyenangkan dan tidak menyenangkan. Selanjutnya, mereka mulai untuk mengevaluasi pengalaman mereka sebagai pengalaman positif dan negatif, menggunakan kecenderungan aktualisasi sebagai kriteria.
Saat bayi telah membangun struktur diri yang mendasar, kecenderungan mereka untuk aktualisasi mulai berkembang. Aktualisasi diri merupakan bagian dari kecenderungan aktualisasi sehingga tidak sama dengan kecenderungan itu sendiri. Secara singkat, aktualisasi diri adalah kecenderungan untuk  mengaktualisasikan diri sebagaimana yang dirasakan dalam kesadaran. Rogers mengajukan dua subsistem, yaitu konsep diri (self-concept) dan diri ideal (ideal-self).

Konsep Diri
Konsep diri meliputi seluruh aspek dalam keberadaan dan pengalaman seseorang yang disadari oleh individu tersebut. Konsep diri tidak identik dengan diri organismik. Bagian-bagian diri organismik berada di luar kesadaran seseorang atau tidak dimiliki oleh orang tersebut.
Saat manusia sudah membentuk konsep dirinya, ia akan menemukan kesulitan dalam menerima perubahan dan pembelajaran yang penting. Pengalaman yang tidak konsisten dengan konsep diri mereka biasanya disangkal atau hanya diterima dengan bentuk yang telah didistorsi atau diubah.


Diri Ideal
Diri ideal didefinisikan sebagai pandangan seseorang atas diri sebagaimana yang diharapkannya. Diri ideal meliputi semua atribut, biasanya yang positif, yang ingin dimiliki oleh seseorang. Perbedaan yang besar antara diri ideal dengan konsep diri mengindikasikan inkongruensi dan merupakan kepribadian yang tidak sehat. Individu yang sehat secara psikologis akan mellihat sedikit perbedaan antara konsep dirinya dengan apa yang mereka inginkan secara ideal.


Unsur-Unsur Person-Centered Therapy

1. Munculnya Gangguan
Hambatan atas pertumbuhan psikologis terjadi saat seseorang mengalami penghargaan bersyarat,  inkongruensi, sikap defensif, dan disorganisasi.
Penghargaan bersyarat dapat berakibat pada kerentanan, kecemasan, dan ancaman serta menghambat manusia dari merasakan penerimaan positif yang tidak bersyarat. Inkongruensi berkembang saat diri orgasmik dan diri yang dirasakan tidak selaras. Saat diri organismik dan diri yang dirasakan tidak kongruen, manusia cenedrung menjadi defensif serta menggunakan distorsi dan penyangkalan sebagai usaha untuk mengurangi inkongruensi. Manusia yang mengalami disorganisasi saat distorsi dan penyangkalan tidak cukup untuk menahan inkongruensi. Orang-orang yang cenderung tidak menyadari inkongruensi mereka, memungkinkan untuk merasa lebih cemas, terancam, dan defensif.

2. Tujuan Terapi
Rogers (1980) memberikan penjelasan sesuai dengan logika bahwa ketika seseorang merasakan sendiri bahwa mereka dihargai dan diterima tanpa syarat, mereka menyadari bahwa mungkin untuk pertama kalinya mereka dapat dicintai. Sehingga tujuan dari person-centered therapy adalah untuk membuat klien/pribadi seseorang dapat menghargai dan menerima diri mereka sendiri dan untuk mempunyai penerimaan positif yang tidak bersyarat terhadap diri mereka.

3. Peran Terapis
Dalam pandangan Rogers, konselor lebih banyak berperan sebagai partner klien dalam memecahkan masalahnya. Dalam hubungan konseling, konselor ini lebih banyak memberikan kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan segala permasalahan, perasaan dan persepsinya, dan konselor merefleksikan segala yang diungkapkan oleh klien.
Agar peran ini dapat dipertahankan dan tujuan dapat dicapai, maka konselor perlu menciptakan iklim atau kondisi yang mampu menumbuhkan hubungan konseling.
Selain peranan diatas, peranan utama konselor adalah menyiapkan suasana agar potensi dan kemampuan yang pada dasarnya ada pada diri klien itu berkembang secara optimal, dengan cara menciptakan hubungan konseling yang hangat. Dalam suasana yang demikian, konselor merupakan agen pembangunan yang mendorong terjadinya perubahan pada diri klien tanpa konselor sendiri banyak masuk dan terlibat langsung dalam proses perubahan tersebut.


TEKNIK-TEKNIK PERSON-CENTERED THERAPY
Terapi ini tidak memiliki metode atau teknik yang spesifik, sikap-sikap terapis dan kepercayaan antara terapis dan klienlah yang berperan penting dalam proses terapi. Terapis membangun hubungan yang membantu, dimana klien akan mengalami kebebasan untuk mengeksplorasi area-area kehidupannya yang sekarang diingkari atau didistorsinya. Terapis memandang klien sebagai narator aktif yang membangun terapi secara interaktif dan sinergis untuk perubahan yang positif. Dalam terapi ini pada umumnya menggunakan teknik dasar mencakup mendengarkan aktif, merefleksikan perasaan-perasaan atau pengalaman, menjelaskan, dan “hadir” bagi klien, namun tidak memasukkan pengetesan diagnostik, penafsiran, kasus sejarah, dan bertanya atau menggali informasi. Untuk terapis person centered, kualitas hubungan terapi jauh lebih penting daripada teknis. Terapis harus membawa ke dalam hubungan tersebut sifat-sifat khas yang berikut;
  • Menerima. Terapis menerima pasien dengan respek tanpa menilai atau mengadilinya entah secara positif atau negatif. Pasien dihargai dan diterima tanpa syarat. Dengan sikap ini terapis memberi kepercayaan sepenuhnya kepada kemampuan pasien untuk meningkatkan pemahaman dirinya dan perubahan yang positif.
  • Keselarasan (congruence). Terapis dikatakan selaras dalam pengertian bahwa tidak ada kontradiksi antara apa yang dilakukannya dan apa yang dikatakannya.
  • Pemahaman. Terapis mampu melihat pasien dalam cara empatik yang akurat. Dia memiliki pemahaman konotatif dan juga kognitif.
  • Mampu mengkomunikasikan sifat-sifat khas ini. Terapis mampu mengkomunikasikan penerimaan, keselarasan dan pemahaman kepada pasien sedemikian rupa sehingga membuat perasaan-perasaan terapis jelas bagi pasien.
  • Hubungan yang membawa akibat. Suatu hubungan yang bersifat mendukung (supportive relationship), yang aman dan bebas dari ancaman akan muncul dari teknik-teknik diatas.



Referensi:
  • Feist, J & Feist, G. J.(2013).Teori Kepribadian.Jakarta: Salemba Humanika
  • Latipun.(2008).Psikologi Konseling.Malang: UMM Press
  • Prayitno & Amti. E.(2004).Dasar-Dasar Bimbingan Dan Konseling.Jakarta: Rineka Cipta
  • Abidin, Zanial, 2002. Analisis Eksistensial Untuk Psikologi dan Psikiatri. Bandung: PT Refika Aditama.
  • Corey, Gerald. 2009. Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama.
  • Gunarsa, Singgih D. 1996. Konseling Dan Psikoterapi. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
  • Palmer, Stephen. 2010. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Minggu, 20 Maret 2016

Tugas 2 : Terapi Humanistik Eksistensial

Terapi Humanistik Eksistensial


Konsep dasar teori Terapi Humanistik Eksistensial
Istilah psikologi humanistik (Humanistic Psychology) diperkenalkan oleh sekelompok ahli psikologi yang pada awal tahun 1960-an bekerja sama di bawah kepemimpinan Abraham Maslow dalam mencari alternatif dari dua teori yang sangat berpengaruh atas pemikiran intelektual dalam psikologi. Kedua teori yang dimaksud adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Maslow menyebut psikologi humanistik sebagai “kekuatan ketiga” (a third force).
Meskipun tokoh-tokoh psikologi humanistik memiliki pandangan yang berbeda-beda, tetapi mereka berpijak pada konsepsi fundamental yang sama mengenai manusia, yang berakar pada salah satu aliran filsafat modern, yaitu eksistensialisme. Eksistensialisme adalah hal yang mengada-dalam dunia (being-in-the-world), dan menyadari penuh akan keberadaannya (Koeswara, 1986 : 113). Para filsuf eksistensialis percaya bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih tindakan, menentukan sendiri nasib atau wujud dari keberadaannya, serta bertanggung jawab atas pilihan dan keberadaannya, dalam hal ini “pilihan” menjadi evaluasi tertinggi dari tindakan yang akan diambil oleh seseorang.
Tokoh-tokoh dalam konseling eksistensial-humanistik yaitu, Abraham Maslow, Carl H. Rogers, Holo May, Bagental, Yourard dan Arbuckle.


Konsep Utama Pendekatan Humanistik Eksistensial
  1. Kesadaran diri Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Kesadaran diri membedakan manusia dengan mahluk-mahluk lain. Pada hakikatnya semakin tinggi kesadaran seseorang, semakin ia hidup sebagai pribadi. Meningkatkan kesadaran berarti meningkatkan kesanggupan seseorang untuk mengalami hidup secara penuh sebagai manusia.Peningkatan kesadaran diri yang mencakup kesadaran atas alternatif-alternatif, motivasi-motivasi, faktor-faktor yang membentuk pribadi, dan atas tujuan-tujuan pribadi, adalah tujuan segenap konseling. Kesadaran diri banyak terdapat pada akar kesanggupan manusia, maka putusan untuk meningkatkan kesadaran diri adalah fundamental bagi pertumbuhan manusia.
  2. Kebebasan tanggung jawab, kecemasan kesadaran atas kebebasan dan tangung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar bagi manusia. Kecemasan adalah suatu karakteristik dasar manusia yang mana merupakan sesuatu yang patologis, sebab ia bisa menjadi suatu tenaga motivasional yang kuat untuk pertumbuhan kepribadian.
  3. Penciptaan makna, manusia itu unik, dalam arti bahwa dia berusaha untuk menemukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Manusia pada dasarnya selalu dalam pencarian makna dan identitas diri. Manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah mahluk yang rasional.


Tujuan-tujuan terapi :
  • Menyajikan kondisi-kondisi untuk memaksimalkan kesadaran diri dan pertumbuhan.
  • Menghapus penghambat-penghambat aktualisasi potensi pribadi.
  • Membantu klien agar mampu menghadapi kecemasan sehubungan dengan tindakan memilih diri, dan menerima kenyataan bahwa dirinya lebih dari sekedar korban kekuatan-kekuatan deterministik di luar dirinya.
  • Membantu klien menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dan memperluas kesadaran diri.
  • Membantu klien agar bebas dan bertanggung jawab atas arah kehidupan sendiri.


Fungsi dan Peran Terapis
Menurut Buhler dan Allen, para ahli psikologi humanistik memiliki orientasi bersama yang mencakup hal-hal berikut :
  1. Mengakui pentingnya pendekatan dari pribadi ke pribadi.
  2. Menyadari peran dari tanggung jawab terapis.
  3. Mengakui sifat timbal balik dari hubungan terapeutik.
  4. Berorientasi pada pertumbuhan.
  5. Menekankan keharusan terapis terlibat dengan klien sebagai suatu pribadi.
  6. Mengakui bahwa putusan dan pilihan akhir terletak ditangan klien.
  7. Memandang terapis sebagai model, dalam arti bahwa terapis dengan gaya hidup dan pandangan humanistiknya tentang manusia secara implisit menunjukkan kepada klien potensi bagi tindakan kreatif dan positif.
  8. Mengakui kebebasan klien untuk mengungkapkan pandangan dan untuk mengembangkan tujuan-tujuan dan nilainya sendiri.
  9. Bekerja ke arah mengurangi ketergantungan klien serta meningkatkan kebebasan klien.


Teknik Terapi
Teori humanistik eksistensial tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat. Prosedur-prosedur konseling bisa dipungut dari beberapa teori konseling lainnya separti teori Gestalt dan Analisis Transaksional. Tugas konselor disini adalah menyadarkan konseli bahwa ia masih ada di dunia ini dan hidupnya dapat bermakna apabila ia memaknainya.


Kekurangan Terapi Humanistik Eksistensial
Salah satu konsep ekstensial yang paling ditentang oleh kalangan psikologi “ilmiah” ialah kebebasan individu untuk menjadi menurut apa yang diinginkannya. Jika benar, maka konsep ini sudah pasti meruntuhkan validitas psikologi yang berpangkal pada konsepsi tentang tingkah laku yang sangat detrministic. Karena jika manusia benar-benar bebas menentukan eksistensinya, maka seluruh prediksi dan control akan menjadi mustahil dan nilai eksperimen menjadi sangat terbatas.


Kelebihan Terapi Humanistik Eksistensial
  1. Teknik ini dapat digunakan bagi klien yang mengalami kekurangan dalam perkembangan dan kepercayaan diri.
  2. Adanya kebebasan klien untuk mengambil keputusan sendiri.
  3. Memanusiakan manusia.
  4. Bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, analisis terhadap fenomena sosial.
  5. Pendekatan terapi eksistensial lebih cocok digunakan pada perkembangan klien seperti masalah karier, kegagalan dalam perkawinan, pengucilan dalam pergaulan ataupun masa transisi dalam perkembangan dari remaja menjadi dewasa


Kelemahan Terapi Humanistik Eksistensial
  1. Dalam metodologi, bahasa dan konsepnya yang mistikal.
  2. Dalam pelaksanaannya tidak memiliki teknik yang tegas.
  3. Terlalu percaya pada kemampuan klien dalam mengatasi masalahnya (keputusan ditentukan oleh klien sendiri).
  4. Memakan waktu lama.


Daftar pustaka:
  • Corey, G. (2007). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: Refika Aditama
  • http://www.psikologizone.com/konseling-terapi-pendekatan-eksistensial/06511676  (diakses pada 20 april 2015)
  • Corey, Gerald. (1988). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Eresco